NIKAH DIPERSOALKAN, ZINA DIBIARKAN

Saat ini, RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (HMPA) Bidang Perkawinan sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Tahun 2010 di DPR. Kemunculan RUU ini telah mengundang pro-kontra.

Pasalnya, dalam RUU tersebut nyata-nyata terkandung klausul pemidanaan (kriminalisasi) bagi pelaku nikah siri, poligami dan nikah kontrak; mereka bisa diancam hukuman penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Mereka yang pro (setuju), misalnya, adalah Ketua Mahkamah Konsitusi (MK) Mahfud MD. Alasannya, ia meyakini pernikahan bawah tangan (nikah siri) dan kawin kontrak merugikan pihak perempuan. (Jambi-independent.co.id, 15/2/10).

Sementara itu Ketua PWNU Jawa Timur KH. Mutawakkil Allallah mengatakan, dirinya mengecam keras upaya legislasi hukum pidana pelaku nikah siri. “Apabila draf hukum pidana nikah siri dijadikan UU, maka merupakan pelecehan terhadap syariat Allah,” demikian dikutip hidayatullah.com (17/2/10).

Mendudukkan Persoalan
Dalam kasus nikah kontrak (muth’ah), pemidanaan atas pelakunya tentu wajar belaka. Sebab, dalam pandangan syariah Islam nikah kontrak (nikah muth’ah) haram. Keharaman nikah muth’ah ini telah disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama.

Sebaliknya, pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) tentu bermasalah. Pertama: Selama ini nikah siri (nikah di bawah tangan) yang dipahami masyarakat adalah pernikahan yang absah secara agama tetapi tidak tercatat di lembaga pencatat pernikahan (KUA).

Jika memenuhi syarat dan rukunnya secara syar’i, nikah siri model ini jelas tetap sah. Demikian pula dengan poligami yang telah memenuhi syarat-syarat sah secara syar’i. Karena itu, pemidanaan atas pelaku nikah siri (termasuk poligami) bertentangan dengan hukum syariah. Lain halnya jika kedua model praktik pernikahan itu tidak memenuhi standar syar’i.

Kedua: Pemberlakuan hukum pidana atas pelaku nikah siri yang absah secara syar’i juga akan menimbulkan keresahan di masyarakat. Pasalnya, selama ini sebagian masyarakat telah mempraktikan kedua bentuk pernikahan tersebut selama puluhan tahun.

Mereka melakukannya paling tidak karena salah satu dari empat alasan berikut: (1) alasan agama (misal: takut terjerumus ke dalam perzinaan, sementara untuk meresmikan pernikahan lewat KUA tidak mudah); (2) alasan administrasi (misal: mahalnya biaya nikah lewat KUA; sulitnya prosedur untuk poligami secara resmi [bahkan untuk PNS ada PP No. 45/1990 yang nyata-nyata mencegah mereka untuk memiliki istri lebih dari satu]); (3) alasan ekonomi (misal: banyak wanita mau dipoligami asal dipenuhi nafkahnya dan tidak dicerai); (4) alasan tradisi (misal: banyak tokoh agama [ulama/kiai/ustad], khususnya di pesantren-pesantren, yang memiliki istri lebih dari satu; selain karena memang halal secara syar’i, ada kebanggaan tersendiri bagi orangtua yang memiliki anak gadis jika putrinya itu dipersunting oleh sang tokoh karena jaminan keilmuan dan keshalihannya, selain karena status sosialnya di masyarakat).

Ketiga: Pemidanaan atas pelaku nikah siri yang absah secara syar’i patut dipertanyakan motifnya. Pasalnya, jika alasannya karena praktik nikah siri selama ini banyak merugikan pihak perempuan, terutama menyangkut hak-haknya di depan hukum/pengadilan (misal: sulit menuntut hak nafkah jika terjadi masalah dalam rumah tangganya, apalagi sampai terjadi perceraian; susah mendapat hak waris jika suami meninggal; sukar mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya; dll), maka yang perlu dipecahkan adalah bagaimana mengatasi kesulitan-kesulitan tersebut sehingga tidak ada pihak yang dirugikan.

Caranya dengan mengubah UU atau aturan yang ada yang selama ini mempersulit diperolehnya hak-hak tersebut. Misal: PP No. 45/1990 bagi PNS seharusnya dicabut. Dengan itu, saat mereka ada keinginan kuat menikah lagi, mereka bisa melakukannya secara resmi melalui lembaga Pemerintah (KUA). Dengan itu pula, mereka dengan mudah bisa mendapat akta nikah, yang selama ini dijadikan syarat untuk mendapatkan akta kelahiran bagi anak-anaknya.

Keempat: Pemidanaan atas pelaku nikah siri juga tidak proporsional, terutama jika dibandingkan dengan bencana seks bebas, baik melalui praktik zina secara terang-terangan maupun “zina siri” (diam-diam).

Jelas, segala bentuk perzinaan ini telah berdampak pada problem-problem sosial pelik lainnya seperti kehamilan tak diinginkan, aborsi, penyakit menular seksual, epidemi HIV/AIDS, sampai degradasi moral remaja. Bahkan “zina siri” telah melanda para remaja.

Menurut hasil survei Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), misalnya, yang mengambil sampel di 33 provinsi pada tahun 2008, diperoleh fakta bahwa 63 persen remaja usia sekolah SMP dan SMU mengaku pernah melakukan hubungan seks, dan 21 persen di antaranya pernah melakukan aborsi. Itu baru yang terungkap.

Bandingkan dengan nikah siri (yang absah menurut agama tetapi tidak tercatat di KUA), dimana laki-laki dan wanita diikat dalam sebuah ikatan luhur dan terhormat, demi mengarungi bahtera keluarga sakinah mawadah wa rahmah.

Bandingkanlah, mana yang semestinya patut mendapat perhatian dan penanganan yang lebih serius? Mana di antara keduanya yang berbahaya? Mana di antara keduanya yang menyebarkan penyakit biologis dan penyakit sosiologis di tengah masyarakat? Jika para pelaku nikah siri (termasuk poligami) diancam dengan hukuman penjara, mengapa para pelaku zina terang-terangan maupun “zina siri” malah dibiarkan?

Akar Persoalan
Harus diakui, sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini telah sukses “memaksa” sebagian orang terjerumus ke dalam kubangan perzinaan. Sistem tersebut tidak lain berisi sekumpulan aturan dan undang-undang yang mendukung sekularisme, liberalisme dan kapitalisme di berbagai aspek kehidupan. Lihatlah bagaimana sistem yang bekerja saat ini menghasilkan generasi para pezina, bahkan dalam usia yang sangat dini, melalui beberapa hal berikut:

1.Pendidikan sekular yang mendepak agama. Pendidikan sekular ini nyata-nyata menjadikan para remaja kita dibuat tidak matang secara intelektual, emosional apalagi spiritual. Akhirnya, mereka mudah terombang-ambing dan terjerumus ke dalam lembah maksiat, termasuk perzinaan.

2.Kemudahan mengakses sarana pornografi dan pornoaksi. Semua itu disediakan oleh raksasa industri yang menjadikan aurat dan syahwat sebagai core-business (bisnis inti) mereka dan dilegalkan Pemerintah. Para remaja terus-menerus dibombardir oleh berbagai sarana pornografi dan pornoaksi tersebut.

Akibatnya, di tengah tidak adanya pegangan hidup yang kuat, hasrat seksual mereka pun tak terbendung. Saat sebagian dari mereka itu masih percaya dengan ikatan luhur pernikahan dan berniat untuk segera menikahi pasangan mereka, ironisnya pintu pernikahan dini pun ditutup rapat-rapat. Yang melanggar bisa dipidanakan. Akhirnya, mereka pun mencari jalan pintas dan aman: berzina.

3.Sanksi hukum yang longgar. Hingga hari ini, dalam KUHP kita tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemidanaan atas pelaku zina, selama dilakukan atas dasar suka sama suka! (Padahal mana ada orang berzina dipaksa?). Intinya, zina tak lagi dianggap kriminal. Akibatnya, orang tak akan pernah merasa takut untuk melakukannya.

Sungguh, maraknya kasus “zina siri” maupun zina terang-terangan yang merusak ini lebih patut mendapatkan perhatian Pemerintah ketimbang gejala nikah siri ataupun poligami yang hanya secuil itu.

Liberalisasi Keluarga
Saat poligami dihambat, nikah siri pun dipidanakan, sementara hasrat untuk menikah lagi tak terbendung, yang terjadi adalah kemungkinan banyaknya para lelaki mencari jalan pintas dan aman. Apalagi kalau bukan berzina. Sebab, hingga saat ini memang tidak ada sanksi bagi para pezina!

Belum diberlakukannya UU HMPA yang bisa mempidanakan pelaku nikah siri saja, saat ini perzinaan demikian marak. Bagaimana jika saat sudah diberlakukan. Munculnya RUU HMPA bukan tanpa sebab. Di dalamnya terdapat ruh dan nuansa liberalisasi, yaitu CLDKHI. Ini merupakan upaya terselubung liberalisasi keluarga. Ini merupakan bagian dari penjajahan global oleh musuh-musuh Islam yang menginginkan hancurnya tatanan kehidupan keluarga Muslim.

Skenario global ini secara sistematis dan struktural masuk melalui lembaga internasional (PBB) yang menekan negeri-negeri Muslim jajahan untuk meratifikasi konvensi-konvensi yang sarat agenda liberal seperti CEDAW dll. Selanjutnya negara menekan masyarakat dengan berbagai Undang-Undang liberal.

Ternyata, negeri ini tak pernah berhenti menjadi sasaran liberalisasi di berbagai bidang; baik liberalilasi agama dan pemikiran, liberalisasi ekonomi, liberalisasi politik, liberalisasi hukum Islam maupun liberalisasi sosial dan budaya. Selain itu, kini upaya liberalisasi keluarga—yang notabene menjadi ‘benteng terakhir’ pertahanan kaum Muslim—juga terus digencarkan. Salah satu pintu masuknya adalah melalui RUU Hukum Materiil Peradilan Agama (RUU HMPA) Bidang Perkawinan.

Semua upaya liberalisasi ini tidak lain merupakan bagian dari skenario penjajah Barat melalui agen-agennya di negeri ini untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslim. Karena itu, hendaklah kita selalu meyakini firman Allah SWT:

“Mereka (kaum kafir) tidak henti-hentinya memerangi kalian sampai mereka dapat mengembalikan kalian dari agama kalian (pada kekafiran) seandainya mereka sanggup” (QS al-Baqarah [2]: 217).

Allah SWT juga berfirman:
ْ”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu hingga kamu mengikuti agama (jalan hidup) mereka”(QS al-Baqarah [2]: 120).

Selain itu, kita pun harus menyadari bahwa arus liberalisasi masuk secara struktural dan kultural. Karena itu, upaya membendungnya pun harus dilakukan secara struktural dan kultural. [] Wallau a’lam.

Muhammadun adalah pengurus Majelis UIama Indonesia (MUI) Riau

Sumber : Riaupos.com